Senin, 28 Juli 2008

Kata siapa pelukis jalanan miskin?!

SIAPA sangka seorang pelukis jalanan bisa meraih keuntungan bersih sebesar Rp 4 juta setiap bulannya? Bahkan, bisa mendapat pesanan lukisan seharga Rp 7 juta? Namun, itu kenyataan. Bogi (29) salah satunya.
Pelukis jalanan yang biasa mangkal di depan Gedung Kesenian Jakarta ini tak menyiratkan kesan duka saat menceritakan perjalanan hidupnya. “Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang paling bisa saya kerjakan dengan tidak terbebani,” katanya. "Bagaimana terbeban jika bekerja mencari uang sekaligus menyalurkan hobi?" sambungnya sambil terus melukis.
Menjadi pelukis jalanan bukanlah cita-cita Bogi. Tapi, karena tidak memiliki dasar pendidikan yang tinggi, jalan inilah yang harus ia tempuh demi bertahan hidup. Rupanya nasib baik berpihak pada Bogi. “Saya bersyukur bisa seperti ini sekarang. Yang penting adalah mau belajar, mau berpikiran positif, dan ikut perkembangan zaman,” katanya.
Bogi memulai karier lukisnya sejak tahun 1993. Saat itu ia masih “berguru” pada temannya. Dengan merendah, Bogi mengaku tidak mempunyai bakat sama sekali dalam lukis-melukis. Bukankah seseorang harus punya bakat jika ingin menjadi pelukis? Tidak bagi Bogi. “Ini seperti saya. Saya bisa karena biasa,” ujarnya.
Kerasnya kehidupan Kota Jakarta tidak pernah membuatnya lantas pasrah dan tidak berjuang untuk apa pun. Ia bisa berkata seperti itu karena membandingkan dirinya dengan temannya sesama pelukis yang malah hidup berkesusahan. “Pelukis sini ada juga yang punya mobil tiga di kampungnya, tapi ada juga yang enggak punya apa-apa Mbak,” tuturnya.
Setiap minggu Bogi minimal mendapat 1-3 pesanan lukisan. Lukisan termurah yang ia kerjakan adalah Rp 250.000 dan yang termahal sebesar Rp 7 juta. Dengan ini ia mengaku tak pernah kekurangan. “Ya, walaupun pernah juga dalam seminggu tidak ada pesanan. Tapi, saya tetap bisa hidup dari uang bulan kemarin,” katanya.
Dalam sebulan rata-rata ia bisa mendapat penghasilan bersih sebesar Rp 4 juta. Sudah dikurangi uang bensin, rokok, dan makan siang. Tak heran jika pria asli kelahiran Jakarta ini sudah bisa membeli rumah dan berganti motor tiga kali. “Saya sudah punya rumah sendiri, enggak ngontrak. Sudah punya motor sendiri. Ini malah motor yang ketiga,” ujarnya tersenyum.
Kebiasaan menabung sudah dimilikinya sejak mengerti bahwa pekerjaannya ini tidak kekal. Ia sadar akan bertambah tua dan kreativitasnya akan menurun. Belum lagi dengan tidak memiliki pendidikan formal. Menabung bagi Bogi juga adalah masalah martabat. Lewat tabungan ia merasa martabatnya terangkat. “Lihat saja teman-teman saya tuh yang enggak punya tabungan, kayaknya hidupnya susah banget. Bagaimana mau dihargai sama orang lain kalau hidupnya susah,” katanya.
Ia merasa tidak seperti orang miskin. Ia malah merasa sangat beruntung karena tidak seperti orang-orang lulusan kampus yang belum tentu bisa menghasilkan uang seperti dia. “Orang-orang kampus saja pada susah cari kerja. Ya, mending kayak saya,” ujarnya.
“Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya berujung seperti saya. Orang-orang kampus itu kan dididik supaya tidak dibodoh-bodohi, supaya menyebarkan kebenaran juga kan?” katanya berfilosofi. “Saya sudah kebanyakan hidup susah Mbak,” katanya terkekeh.
Seperti orang kebanyakan, Bogi berharap menjadi orang kaya yang punya banyak uang. Tapi, menurutnya, dengan menjadi orang yang berguna bagi keluarga dan orang-orang sekitarnya, ia merasa sudah cukup kaya. Kekayaan dan kecukupan tidak hanya diukur dengan uang, tapi lebih pada bagaimana bisa tetap hidup cerdas dan cukup di tengah kekurangan. Kata siapa pelukis jalanan miskin? (M12-08)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

setiap pelukis memang tidak bisa di katakn miskin, tapi jika dikategorikan dalam pengetahuannya ada kQ pelukis yang miskin. pendapat aku!!!

dayat, padang UNP seni rupa
dayatmencari.blogspot.com
dayathmi@gmail.com